Erieye AEW&C (Airborne Early Warning and Control System) adalah sistem radar peringatan dini dengan platform pesawat terbang untuk mendukung ketinggian dan memperluas area cakupan pemantauan. Sistem radar Erieye ini dirancang dengan basis teknologi AESA (Active Electronically Sensor Array) dan diproduksi oleh SAAB, perusahaan produk pertahanan yang berbasis di Swedia. Produk teknologi pertahanan ini rencananya akan ditawarkan kepada Indonesia untuk digunakan mengawasi kawasan udara Indonesia dari tindakan penyusupan tanpa izin dari pihak asing. |
Erieye AEW&C Dengan Platform Pesawat Turboprop SAAB-2000. |
SAAB AB, perusahaan industri sistem pertahanan dan keamanan Swedia, telah memulai serangkaian pembicaraan tentang penawaran sistem pengamatan udara Erieye AEW&C kepada pemerintah Indonesia untuk mengawal wilayah udara, darat, dan maritim Tanah Air. "Kami akan senang jika sistem kami itu bisa diterima Indonesia dan kami telah melakukan pembicaraan soal ini dengan pemerintah Indonesia,” kata Wakil Presiden dan Kepala Sistem Pengamatan Udara dan Bisnis Sistem Pertahanan Elektronika SAAB AB Lars Tossman di Gotheborg, Swedia, Senin (9/3/2015), waktu setempat.
Penawarannya itu, kata Tossman, terkait juga dengan penawaran sistem pesawat tempur JAS-39 Gripen yang turut dalam proyeksi pengganti pesawat tempur F-5E/F Tiger II pada Skuadron Udara 14 TNI AU. Menurut dia, sistem yang dikembangkan SAAB AB pada piranti Erieye AEW&C sangat pas dengan keperluan Indonesia yang memiliki wilayah udara sangat luas. Dari ketinggian operasionalnya, sistem pengamatan dan intelijen Erieye AEW&C ini bisa menjangkau wilayah pada radius lebih dari 900 kilometer yang berarti sudah di balik kelengkungan Bumi, setara dengan "volume" ruang diawasi 500.000 kilometer persegi horisontal dan 20 kilometer vertikal.
Berbasis sistem Active Electronically Sensor Array, sistem ini bekerja pada frekuensi S-band, dengan sensitivitas ultratinggi, dan pencitraan objek diamati secara seketika. Data-link yang diterapkan berbasis NATO data-link L16 dan L11.
Jika ditempatkan di wilayah udara Indonesia, maka cuma diperlukan dua Erieye AEW&C di udara Jakarta dan Makassar agar bisa melingkupi 80 persen wilayah udara Tanah Air.
Secara teknis, jika ada pesawat terbang penyusup berkecepatan suara (sekitar 900 kilometer perjam), sistem ini bisa segera mengetahui kehadirannya sehingga pesawat tempur Indonesia memiliki cukup waktu untuk menangkalnya.
Sejauh ini, TNI AU hanya memiliki satu skuadron udara pengamatan (surveillance) itu, yaitu Skuadron Udara 5 yang terdiri dari tiga pesawat Boeing 737-200 Maritime Patrol. Pesawat ini dilengkapi sensor SLAMMR ( Side Looking Airborne Modular Multimission Radar), peralatan navigasi INS (Inertial Navigational System) dan Omega Navigation System. Semuanya berbasis teknologi dasawarsa 1980-an.
Lossman menyatakan, sistem Erieye AEW&C memiliki beberapa keunggulan, antara lain bisa disesuaikan dengan keperluan domestik pemakainya. "Bahkan, pijakan alias platform pesawat terbang pembawanya bisa disesuaikan. Yang sudah disertifikasi sejauh ini adalah SAAB 2000 dan Embraer 145," kata dia.
Tipe pesawat terbang "penggendong" yang pertama, SAAB 2000 adalah turboprop. "Kami sangat memperhatikan aspek operasionalisasi dan biaya ikutannya. Itu sebabnya, pengoperasian pesawat terbang turboprop bisa menekan biaya operasional tanpa mengenyampingkan fungsi dan efektivitasnya," kata dia.
Direktur Pemasaran Sistem Udara SAAB AB Magnus Hagman menyatakan, dari Asia Tenggara, baru Thailand yang menandatangani pemesanan jadi Erieye AEW&C. Angkatan Udara Kerajaan Thailand juga menjadi operator perdana JAS-39 Gripen di ASEAN. Pensiunan instruktur penerbang tempur pada Angkatan Udara Kerajaan Swedia itu juga berkata, "Salah satu prinsip penting dalam operasi udara militer tempur adalah menempatkan ataus menerbangkan pesawat tempur pada tempat dan waktu yang tepat. Antara sistem Gripen dan Erieye AEW&C saling melengkapi."
www.antaranews.com
Sistem Radar Terbang Erieye Bisa Dipasang di Pesawat Buatan PT DI.
Perusahaan sistem pertahanan Swedia, Saab Group, menjelaskan, secara prinsip sistem peringatan dini dan kendali terbang (airborne early warning and control/AEW&C) Erieye buatannya bisa dipasang di pesawat-pesawat jarak menengah buatan PT Dirgantara Indonesia, seperti CN-235 dan CN-295.
Selama ini, sistem radar canggih AESA (active electronically scanned array) tersebut dipasang di atas platform tiga pesawat sipil, Saab 340 dan Saab 2000 yang bermesin turboprop serta Embraer E145 yang bermesin jet (turbofan). Erieye berbasis Saab 340, misalnya, dipakai Angkatan Udara (AU) Swedia, Thailand, dan Pakistan. Sementara Erieye berbasis Embraer E145 dipakai AU Brasil dan Meksiko.
Lars Ekstrom, mantan perwira AU Swedia yang kini menjadi pejabat di bagian Pengembangan Bisnis Sistem Pengawasan Udara Saab, Senin (9/3), mengatakan, secara prinsip radar Erieye yang berbentuk seperti papan yang dipasang di atas badan pesawat tersebut bisa dipasang di platform CN-235 atau CN-295. "Kami bersedia memasangnya di platform-platform baru, termasuk pesawat CN-235 atau CN-295," ujar Ekstrom di Gothenburg, Swedia.
Akan tetapi, Wakil Presiden dan Kepala Bagian Sistem Pengawasan Udara Saab Lars Tossman mengingatkan, proses pemasangan radar sistem Erieye di platform pesawat baru bukanlah proses yang bisa mudah dan cepat dilakukan. Bentuk radar yang besar dan dipasang di atas badan pesawat akan memengaruhi aerodinamika pesawat dan perlu dilakukan modifikasi desain sayap vertikal pesawat. "Dan, itu membutuhkan tambahan dana hingga ratusan juta dollar AS, belum ditambah proses sertifikasi kelaikan udaranya yang bisa memakan waktu dan biaya lagi," papar Ekstrom.
Sistem AEW&C Erieye saat ini menjadi sistem peringatan dini udara yang paling laris di luar produk buatan AS. Sistem ini serupa dengan sistem AEW&C semacam E-2 Hawkeye yang digunakan, antara lain, oleh AS, Jepang, dan Singapura; atau Boeing E7A Wedgetail yang dipakai Australia.
print.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar