Cari di Blog Ini

Senin, 23 April 2012

Panglima Besar Jenderal Soedirman : tentara akan hidup dan mati bersama rakyat

Panglima Besar Jenderal Soedirman
Panglima Besar Jenderal Soedirman

Soedirman lahir di Bodaskarangjadi di Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah sekitar tahun 1915. Dilahirkan dari keluarga sederhana dan diangkat anak oleh residen setempat yang bernama Raden Tjokrosunarjo, yang memberikan biaya pendidikannya. Pada tahun 1932 ia memasuki sekolah Taman Siswa Wiworo Tomo dan disana ia belajar bahasa Inggris, hukum dan agama. Kemudian ia pindah ke Sekolah Guru Muhammadiyah namun tidak sempat diselesaikannya karena ayah angkatnya wafat.

Setelah itu Soedirman pindah ke Cilacap dan menjadi guru di HIS setempat. Disana dia juga menjadi anggota Muhammadiyah dan memimpin organisasi kepanduannya, Hizbul Wathan.

Bulan Oktober 1943, Angkatan Darat ke 16 Jepang membentuk tentara "Pembela Tanah Air" atau PETA yang dimaksudkan sebagai tentara pertahanan dan pasukan gerilya bantuan ketika sekutu melakukan penyerangan ke wilayah yang dikuasai Jepang terutama di Pulau Jawa. Mengingat kebutuhannya, maka PETA hanya dibentuk hingga level batalyon (daidan) yang mana setiap batalyon terdiri dari 500-600 pasukan.

Orang-orang yang dipilih untuk dilatih menjadi komandan batalyon (daidancho) sebagian besar bukanlah yang berusia sekolah, melainkan orang-orang yang berumur lebih tua yang menurut pandangan tentara Jepang mempunyai pengaruh dan wibawa terhadap pemuda. Mereka yang sering dipilih adalah guru-guru setempat, pegawai pemerintah dan tokoh agama. Fungsi pokok "daidancho" adalah menjalankan kepemimpinan moral dan pengawasan politik terhadap para bawahan mereka. Dan Soedirman pun ditunjuk oleh Jepang sebagai komandan batalyon untuk daerah Kroya.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 5 Oktober 1945, Soekarno membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan keesokan harinya menunjuk Suprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Kemudian Soekarno mengangkat Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf Umum TKR pada tanggal 14 Oktober 1945. Selanjutnya Oerip melakukan restrukturisasi TKR dengan membentuk 10 Divisi TKR di Pulau Jawa. Soedirman menerima tugasnya sebagai Komandan Divisi V yang meliputi daerah Kedu dan Banyumas pada umur 30 tahun.

Friksi yang terjadi di tubuh TKR terutama di kalangan perwira, yaitu antara perwira lulusan PETA dengan perwira alumni KNIL membuat Letjend Oerip memanggil hampir seluruh perwira tinggi ke dalam suatu rapat yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945 untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam tubuh TKR.

Oerip membuka rapat, ia bicara mengenai ketidaktegasan pemerintah, pertempuran berat sekitar Surabaya dan perlunya mencapai strategi dan taktik bersama. Namun Bahasa Indonesia Oerip tidak bagus dan dia banyak menggunakan kata bahasa Jawa dan Belanda. Kemudian bekas perwira PETA, Holland Iskandar, menginterupsi Oerip dan berkata, "Yang kita butuhkan adalah seorang pemimpin, seorang Panglima Besar".

Pada saat itu Oerip jadi bingung, bersikap kaku dan kehilangan pimpinan rapat. Para bekas Perwira PETA yang merupakan mayoritas dalam rapat mendukung Iskandar. Akhirnya setelah dilakukan pemilihan dengan cara mengacungkan tangan (door vingeropsteken), maka terpilihlah Soedirman, panglima Divisi V (Kedu, Banyumas) sebagai Panglima Besar. Oerip tetap sebagai Kepala Staf Umum dan Sultan Yogya terpilih sebagai Menteri Pertahanan.

Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945.

Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.

Pada awal tahun 1946 ketika pihak oposisi pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Persatuan Perjuangan (PP), semakin menampakkan kekuatannya di bidang politik, mereka berhasil meraih simpati dari Panglima Soedirman. Ia bersimpati dengan PP karena sifat perjuangannya yang tanpa kompromi terhadap pasukan sekutu, sembari itu dia mengatakan "Asalkan ada persatuan, seperti dalam Persatuan Perjuangan (PP), perjuangan itu akan menang; tentara akan hidup dan mati bersama rakyat" (Antara, 19 Februari 1946).

Tanggal 25 Februari 1946 dalam suatu kongres umum Laskar Rakyat yang dihadiri oleh Tan Malaka dan sekretariat PP, sekali lagi Panglima Soedirman mengatakan, "Mari, marilah, seluruh barisan, badan-badan berjuang sungguh-sungguh dan jangan membiarkan rakyat menjadi korban …". Pada saat itu juga keluarlah kata-kata Panglima Soedirman yang sangat terkenal hingga saat ini, "Lebih baik di-bom atom daripada tidak merdeka 100% ! "

Namun demikian keterlibatan Soedirman dalam PP, tidak digubris oleh Soekarno, karena Soekarno mengetahui bahwa Jenderal Soedirman merupakan "bobot-imbang" bagi kekuatan-kekuatan politik yang ada pada waktu itu. Dan sebaliknya, kekuatan politik pun tidak memiliki intervensi yang kuat terhadap pahlawan perang Ambarawa tersebut (Ulf Sundhaussen, 1986).

Pada tanggal 26 Juni 1946, Soekarno mengangkat Soedirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang. Promosi ini menempatkan angkatan udara dan angkatan laut di bawah komando taktis Soedirman. Kedudukan Soedirman diperkuat lagi ketika Presiden pada tanggal 5 Mei 1947 mendekritkan peleburan TRI dan organisasi kelasykaran menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Soedirman sebagai Panglima Besarnya.

Tugas berat berikutnya yang dihadapi oleh PB Soedirman adalah agresi militer Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Menghadapi kurang lebih 125.000 pasukan Belanda yang menyerang wilayah Republik tak membuat gentar jiwa PB Soedirman. Ia memerintahkan seluruh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk bertempur khususnya di kantong-kantong gerilya. Meski kalah dalam persenjataan, semangat juang TNI dan laskar-laskar rakyat tidaklah padam, walau dengan menggunakan taktik gerilya dan taktik perang semesta semangat "merdeka atau mati" tertanam erat seluruh lapisan tentara maupun masyarakat.

Demikian pula ketika menghadapi agresi militer Belanda yang kedua, 18 Desember 1948. Meski masih dalam kondisi sedang menderita sakit parah, semangat juang Soedirman merupakan teladan yang sangat terpuji. Sebagai seorang Panglima Besar merangkap Kepala Staf Angkatan Perang, Soedirman merasa memikul tanggung jawab paling besar jika terjadi konflik dengan Belanda. Ia tidak pernah lupa akan janjinya dulu ketika dilantik sebagai Panglima Besar, "… sanggup mempertahankan kemerdekaan berikut kedaulatan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 sampai tetes darah penghabisan…"

Pada hari Minggu-nya, 19 Desember 1948, Soedirman mengeluarkan Instruksi Siasat No.1 yang berisi, "TNI tidak akan melakukan pertahanan linier. Perlambat serbuan musuh dengan melakukan pengungsian secara total, dilengkapi aksi bumi hangus terhadap semua obyek strategis. Ditambah perintah untuk membentuk kantong perlawanan gerilya (wehrkreise) secara totaliter berikut perintah terakhir, melakukan aksi wingate (menyusup kembali ke daerah asal) agar menjadikan seluruh Pulau Jawa sebagai medan pertempuran …"

Segera setelah itu beliau menuju ke Istana Kepresidenan untuk mendiskusikan aksi agresi militer Belanda tersebut dengan Bung Karno. Diputuskan bahwa Bung Karno tetap di Jogja dengan menerima apapun konsekuensinya sedangkan PB Soedirman meneruskan perjuangan secara gerilya. Sebelum mundur ke daerah gerilya Soekarno berpesan kepadanya, "Dirman, inilah pesanku kepadamu. Sebagai seorang prajurit, sebagai seorang Jenderal, sebagai seorang Panglima TNI, jangan menyerah. Besarkan jiwamu, tebalkan semangatmu dan hidupkan kesetiaanmu kepada Negara, Tanah Air dan Bangsa Indonesia."

PB Soedirman pun mengatakan pesan pribadinya kepada Bung Karno, " … saya akan peringatkan Belanda, kalau mereka menyakiti Soekarno, maka bagi mereka tidak akan pernah ada kata ampun…"

Meski tak pernah menyetujui garis politik diplomasi yang dilakukan oleh Bung Karno dan pejuang politik lainnya akibat agresi militer Belanda kedua, PB Soedirman berjiwa besar. Setelah dijemput oleh Letnan Kolonel Soeharto dari basis daerah gerilyanya di desa Gadjahan, kecamatan Pondjong, kabupaten Gunung Kidul, tanggal 10 Juli 1949, PB Soedirman kembali ke Yogyakarta. Ia disambut dengan penuh suka cita dan keharuan oleh masyarakat Yogya, "Para prajurit yang mengikuti parade di alun-alun untuk menghormati Soedirman, banyak yang meneteskan air mata. Mereka terharu melihat Panglima Besar dengan sosok tubuh kurus kering dibalut mantel, berjalan perlahan-lahan dengan sikap gagah dan sorot mata tajam, memberikan salam militer kepada seluruh anak buahnya…". Setelah itu Soedirman menemui Bung Karno dan Bung Hatta di istana kepresidenan.

Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di RI sampai sekarang.

sosbud.kompasiana.com