Beberapa hari lalu ada kabar, Taiwan menawarkan hibah satu skuadron F-5E Tiger II mereka kepada Indonesia (baca: TNI-AU mendapat tawaran hibah satu skuadron jet F-5E/F Tiger dari Taiwan). Hal ini belum bisa dijawab sempurna oleh pemerintah, apakah menerima atau menolak, atau bagaimana. Maklum, masalah arsenal TNI bukan cuma ranah pemerintah semata, juga ada otoritas DPR di sana, walau pemahaman wakil rakyat soal ini juga suka beda.
Terlepas dari masalah-masalah berbasis politik dan jual-beli jasa atau material, baik melalui jalur antar pemerintah atau institusi dengan perusahaan agen, F-5E/F Tiger II Indonesia ada sejak 21April 1980, saat pesawat transport militer C-5A Galaxy Angkatan Udara Amerika Serikat mendarat di Tanah Air. Tiger menggantikan generasi F-86 Sabre buatan Rockwell, warisan ujung dasawarsa '60-an. Di dalam lambung Galaxy itu, ada tiga Tiger yang diangkut dalam keadaan terurai untuk dirakit lagi oleh teknisi TNI-AU dalam supervisi ahli-ahli dari Northrop Corp, pihak pembuat dari Amerika Serikat, yang turut dalam penerbangan itu. Setelah dirakit, ketiga Tiger alias Macan itu diresmikan ke dalam Skuadron Udara 14 berpangkalan di Pangkalan Udara Utama TNI-AU Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur.
Tiger dipilih karena beberapa alasan teknis, di antaranya kemampuan melesat 1,6 kecepatan suara, perawatan mudah dan cukup murah untuk kantung Indonesia saat itu, dan kelas teknologinya cukup mumpuni pada masanya. Ditambah lagi performansi sistem kesenjataan, penginderaan eksistensi musuh dan pembidik-kuncian, serta fleksibilitas pilihan jenis dan tipe senjata yang bisa dipasang. Tentu saja, modal penting untuk itu adalah hubungan baik dengan negara pembuat, Amerika Serikat, dan negara-negara yang beraliansi kepada dia. Bukan apa-apa, banyak komponen pendukung pesawat terbang dan sistem kesenjataan ataupun avionikanya yang dibuat di negara-negara selain Amerika Serikat. Jika TNI-AU memerlukan suku cadang itu, maka ijin resmi pembelian dari Amerika Serikat jadi kata kunci utama.
Sejak tergabung dalam Skuadron Udara 14 itu, Macan sering jadi andalan dalam berbagai kerja sama kedirgantaraan militer Indonesia. Mulai dari di regional ASEAN (Elang Indopura, Elang Thainesia, Elang Malindo, dan beberapa yang lain), dengan Australia (Elang Ausindo dan Cope West). Dia jadi Duta Angkasa Indonesia dari sisi militer nasional. Akan tetapi, jaman tidak bisa dilawan. Kemajuan teknologi pada masa itu bukan hal yang abadi sebagaimana terjadi pada Macan miliki TNI-AU itu. Walau perawatan telah dilakukan semaksimal mungkin, kelelahan metal --sekedar contoh-- sudah alamiah terjadi karena pesawat terbang memiliki batas jam terbang struktur.
Bahwa F-5E/F Tiger II ini hebat, Amerika Serikat mengakui hal itu. Buktinya, dia jadi lawan latih tanding untuk taktik dan strategi dog fight bagi F-16 Fighting Falcon atau F-14 Tomcat di Sekolah Instruktur Penerbang Tempur dan Kesenjataan mereka. Tidak jarang pula F-16 bisa dibuat keteteran dalam manuver ketat dan seru di udara -- selain karena kualitas penerbangnya memang sangat mahir dalam mengayun stik kontrol.
Dengan bentuk yang sangat streamline dan hidung amat lancip, sayapnya menjadi sangat kecil untuk ukuran tubuhnya. Namun bukan di situ persoalannya kemudian, karena lebih penting adalah meningkatkan performansinya secara signifikan. Meminjam istilah pada F-16 yang biasa mengalami peningkatan "blok", dari blok 15 menjadi 25 atau 32 dan 52 seperti yang akan dilakukan Indonesia terhadap 24 F-16 (calon) eks hibah Angkatan Udara Amerika Serikat; maka Macan ini harus ditingkatkan "blok"-nya.
Sedikit negara pemakai Macan yang melakukan hal ini. TNI-AU memilih memakai jasa itu dari mitranya di Belgia, perusahaan SABCA. Perusahaan spesialis peningkatan performansi pesawat tempur kelas dunia ini diminta melakukan program itu, yang dinamakan Modernization of Avionic Capability for Armament and Navigation, yang kebetulan jika disingkat juga adalah MACAN. Proyek itu dimulai pada 1995. Satu demi satu Macan Indonesia dikirim ke Belgia untuk menjalani peningkatan performansi itu; walau informasi persis tentang hal ini tidak mudah atau boleh diakses umum. Singkatnya, sistem radar ditingkatkan menjadi APG-69 yang sinkron dengan operasionalisasi AIM-9L Sidewinder, peluru kendali udara-ke-udara paling laku dari Amerika Serikat. Selain itu, APG-69 (dalam versi lebih lawas dipakai di F-4E/G Phantom/Weasel Phantom) juga kompatibel dengan peluru kendali AGM-65G. Selain itu, radar dipertangguh dengan kemampuan forward looking infra red dan downward looking infra red; sama-sama berbasis pancaran sinar infra merah yang lebih kecil resonansinya di mata radar lawan namun yang pertama menyapu pandangan di depan, yang kedua lebih pada sasaran di bawah.
Harap ingat, pada 1991 embargo persenjataan dan latihan militer diberlakukan Amerika Serikat terhadap Indonesia. Saat itu, kiblat persenjataan Indonesia memang Amerika Serikat dan sekutunya kecuali pada tahap lebih luas Perancis. Jadilah Proyek MACAN itu melalui liku-liku yang cukup rumit untuk dilakukan walau akhirnya sukses.
Pengguna lain Tiger di dunia juga melakukan hal serupa. Angkatan Udara Singapura meningkatkan sistem pemindai musuh itu memakai Grifo-S yang dipadu Dash HMS, sinkron dengan peluru kendali udara-ke-udara Phyton Mark IV, dan AIM-120 Harpoon yang harganya lebih mahal ketimbang Sidewinder. Turki (saat itu belum menjadi anggota NATO), melakukannya melalui program LIFT, yang mendongkrak kemampuan mesin dan sistem navigasi persenjataannya, Chile memillih meningkatkan sistem persenjataannya, M-2032, mengingat kondisi geografis dan falsasah ancaman keamanan-pertahanan negaranya yang sangat bergunung-gunung dan dekat dengan iklim kutub. Dia sama dengan Singapura, menyinkronkan diri dengan Phyton Mark IV yang mereka beli kemudian. Akan halnya dengan Thailand yang juga memiliki Tiger pada masa sekira sama dengan Indonesia, menempuh hal itu melalui program LITENING II. Dia mempertinggi akurasi pembidikan bom udara-ke-darat GBU-10 dan memilih menunda peningkatan kemampuan radarnya karena alasan keuangan kerajaan.
Bagaimana dengan Taiwan? Sebagai negara pedagang tulen, uangnya cukup banyak sehingga bisa meningkatkan kemampuan Tiger-nya dengan program yang dinamakan Tien Chien II dan Tien Chien I. Dengan memakai sistem GD-53, Tiger Taiwan ini bisa menggotong AGM-65 dan bom darat berkendali. Tiger di mana-mana, kemudian, menjadi semakin multi role fighting aircraft.
Taiwan telah menyatakan minatnya menghibahkan Tiger-nya sebagaimana juga dilakukan Korea Selatan karena Indonesia membeli satu skuadron T-50 Golden Eagle mereka, sekaligus menjadi Indonesia pembeli internasional perdana Golden Eagle itu. Walau begitu, Tiger dari Korea Selatan ini belum menjalani program peningkatan performansi seperti yang dilakukan kita terhadap Macan dengan Proyek MACAN itu. Menurut rencana pemerintah, pada 2014 nanti, akan ada tambahan 78 pesawat tempur bagi TNI-AU, dan Macan ini masuk dalam daftar itu sehingga akan ada "kembaran" Skuadron Udara 14.
www.antaranews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar