KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376) adalah kapal perang jenis korvet kelas Parchim yang dimiliki dan dioperasikan oleh TNI Angkatan Laut. Sebelum memperkuat armada kapal perang TNI-AL, KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376) awalnya kapal perang milik Angkatan Laut Jerman Timur. Setelah dilakukan beberapa modifikasi pada sistem persenjataan dan kemampuan berlayar yang lebih lama, pada tahun 1993 beberapa unit kapal korvet kelas Parchim milik Angkatan Laut Jerman Timur ini dibeli oleh Indonesia (TNI-AL).
KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376). kapal perang TNI AL. Pasca pembakaran 5 unit kapal pukat teri gandeng dua, baru-baru ini, KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376) yang dipimpin Letkol Laut (P) Ketut Budiantoro diturunkan untuk mengamankan kawasan perairan Asahan, khususnya Selat Malaka. Kehadiran KRI STS 376 ini untuk menciptakan suasana kondusif bagi kalangan nelayan menangkap ikan, sekaligus mengantisipasi terjadinya kembali peristiwa anarkis yang dilakukan sekelompok massa membakar kapal pukat teri gandeng dua. Komandan KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376) Ketut Budiantoro, didampingi Pasi Intel Lanal TBA Kapten Marinir Irfan Helmy dan Pasop Kapten laut (P) Oktav Bayu menyatakan, laut tidak bisa dikapling-kapling, dan siapapun berhak untuk memanfaaatkannya, apalagi melakukan aktivitas penangkapan ikan. “KRI siap melakukan pengendalian di lokasi kejadian dengan membawa 58 personel yang siap melaksanakan tugasnya,” kata Ketut. Selain itu, kehadiran KRI STS 376 juga upaya mendukung kinerja Dan Lanal TBA untuk mengamankan situasi perairan, sehingga diharapkan nantinya tidak lagi ditemukan peristiwa serupa. Menurut Ketut,
KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376) juga juga melakukan pengamanan di sekitar perairan Selat Malaka, terutama wilayah perbatasan Malaysia – Indonesia. Karena masih ditemukan wilayah yang tidak memiliki tapal batas dan dikhawatirkan akan diambil alih Malaysia. Untuk pengamanan wilayah perbatasan Selat Malaka, tercatat 7 KRI yang disiagakan di wilayah tertentu, antara lain untuk mengantisipasi aksi pembajakan, terutama di kawasan utara, karena sebagian pengamanan dilakukan di wilayah tersebut. "Kita menginginkan wilayah perairan Selat malaka senantiasa terkendali aman dan kondusif, dan tidak ada istilah pengkaplingan di laut," tegasnya. Seperti diberitakan sebelumnya, 5 kapal nelayan pukat teri gandeng dua yang sedang beroperasi melakukan penangkapan ikan dibakar, Minggu (18/12). Tiga unit di antaranya dibakar saat beroperasi di kawasan perairan Tanjung Api dan 2 lagi di Sungai Baru, Asahan Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, namun kerugian nelayan diperkirakan mencapai Rp 1 miliar lebih. Ketua Umum DPP Ikatan Masyarakat Peduli Pesisir (IMPP) Fachruddin alias Alang menyatakan, pembakaran kapal teri gandeng dua ini dicurigai terkait unjuk rasa nelayan tradisional, khususnya kelompok masyarakat peduli pesisir beberapa waktu lalu, yang tidak ditanggapi legislatif dan eksekutif. Saat unjuk rasa itu, paparnya, para wakil rakyat berjanji akan turun bersama para nelayan ke laut untuk menyaksikan secara langsung beroperasinya kapal pukat teri gandeng dua, dalam jangka waktu selama satu minggu. "Akibat tidak dipenuhi janji, para nelayan pun mulai emosi dan mengambil kebijakan dan tindakan sendiri membakar kapal teri gandeng dua tepat di lokasi kawasan perairan Tanjung Api dan Sungai Baru, tepat di wilayah perairan Asahan,” katanya. Untuk mengantisipasi jangan terulang kembali kasus serupa, ia mengharapkan aparat hukum terkait bersama jajaran eksekutif dan legislatif agar melakukan tindakan menghentikan operasi kapal pukat teri gandeng dua di wilayah tangkapan nelayan tradisional. Zaki, warga Desa Sungai Apung menyatakan, operasional pukat teri gandeng dua sudah sangat meresahkan. Pasalnya, hasil tangkapan nelayan tradisional turun. "Bagaimana Pak nelayan kecil tidak emosi, sementara ekonomi mereka sangat terhimpit dan susah akibat ulah pukat teri gandeng dua itu. "
KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376), berhasil menangkap satu kapal ikan berbendera Malaysia berbobot 10 GT TRF-2403 yang dinakhodai warga Malaysia Azmin M. Yusuf beserta 4 orang ABK. KRI STS merupakan unsur dari patroli laut dari jajaran Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) di perairan Natuna. Barang bukti berupa kapal, 5 orang pelaku dan ikan hasil curian seberat 200 kg disita dan dikawal menuju Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Ranai, Provinsi Kepulauan Riau, untuk diproses hukum lebih lanjut. Kapal Malaysia yang juga terbukti tidak dilengkapi dokumen kapal sama sekali ini, ditangkap pada posisi 04 48 20 U – 106 40 42 T saat KRI STS melaksanakan Operasi Gurita 14/2010 yang digelar Gugus Keamanan Laut Koarmabar di Laut Natuna. Selain kapal Malaysia, di perairan yang sama KRI STS juga menangkap sebuah kapal ikan berbendera Indonesia yakni KM Mutiara Mina milik PT. Mutiara Mina Mandiri. Kapal itu ditangkap pada posisi 04 47 07 U 106 46 02 T. Setelah diperiksa, kapal yang dinakhodai WNA Thailand Man Sununta serta 16 ABK ( 11 WNA Thailand dan 5 WNI) serta memuat kurang lebih enam ton ikan campuran tersebut, ternyata memiliki dokumen crew list tidak sesuai dengan jumlah ABK yang ada. Foto copy dokumen kapal juga diduga palsu. Kapal ikan berbendera Indonesia lainnya yakni KM Satya Mustika juga ditangkap unsur
KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376) saat hendak berlayar dari Barelang Batam menuju Laut Cina Selatan, tepatnya pada posisi 04 55 58 U 106 34 24 T. Dari hasil pemeriksaan sementara, kapal dengan warna cat lambung biru ini memuat kurang lebih 5 ton ikan campuran dan diketahui pada dokumen crew list tidak sesuai dengan jumlah ABK yang ada. Pelanggaran lain yang dilakukan kapal milik PT. Graha Mustika Jaya Abadi ini adalah ABK tidak disijil dan diduga dokumen kapal palsu dan tidak lengkap. Seperti dikutip dari situs tni.mil.id, kapal-kapal tersebut selanjutnya dikawal menuju Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Ranai untuk pemeriksaan lebih lanjut.
KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376) adalah sebuah
kapal korvet Kelas Parchim yang dibuat untuk Volksmarine / AL Jerman Timur pada akhir 70-an. Penamaan menurut Pakta Warsawa adalah Project 133. Kapal ini didesain untuk perang anti kapal selam diperairan dangkal / pantai. Enam belas kapal dibuat untuk Volksmarine (1997-1981) dan 12 kapal (versi modifikasi) dibuat untuk AL Soviet pada 1985-1990 oleh Peenewerft, Wolgast. Soviet memesan kapal ini dengan tujuan untuk menolong industri kapal Jerman Timur , karena saat itu sebenarnya Soviet sudah mempunyai korvet Kelas Grisha yang lebih baik dibanding Parchim dalam semua aspek. Begitu keluar dari perairan dangkal keampuhan dari kapal ini menurun drastis.
Di Soviet korvet kelas Parchim dikembangkan lagi menjadi korvet kelas Parchim II. Setelah Penyatuan kembali Jerman, bekas negara Jerman timur menjual kapal-kapal Parcimnya ke TNI AL Indonesia pada tahun 1993. Oleh TNI AL kapal ini dimodifikasi dengan menambahkan kapasitas BBM untuk patroli lebih lama dilaut.
Spesifikasi Kapal Perang KRI Sultan Thaha Syaifuddin (376) :
- Berat benaman : 793 ton standar, 854 ton beban penuh
- Panjang : 75,2 m (246,7 ft)
- Lebar : 9,78 m (32,1 ft)
- Draft : 2,65 m (8,7 ft)
- Tenaga penggerak : 3 shaft M504 Diesel, 14.250 hp
- Kecepatan : 24,7 knot
- Jarak tempuh : 2.100 nm pada 14 knot
- Awak kapal : 62 orang
- Sonar & Radar : Radar MR-302/Strut Curve, Radar kontrol tembakan MR-123 Vympel/Muff Cob
- Persenjataan elektronik : Sonar MG-322T, Decoy PK-16 decol RL
- Persenjataan : 2 x SA-N-5 SAM, 2 x 57 mm gun (1x2), 2x30mm gun (1x2) atau 1 x AK-630, 2 x RBU-6000-peluncur roket anti kapal selam, 4 x 400 mm tabung torpedo, 60 x ranjau
wikipedia.org