MBT Leopard 2A6 |
Rencana pembelian Main Battle Tank (MBT) Leopard 2A6 untuk memperkuat TNI-AD masih menimbulkan banyak reaksi di berbagai pihak baik itu positif maupun negatif. Namun setidaknya ada satu titik cerah baru-baru ini dimana beberapa anggota Komisi I DPR yang awalnya banyak menyuarakan keberatan mereka, pada akhirnya bisa memahami dan menyetujui rencana ini (baca: Pembelian tank Leopard mendapat angin segar Komisi I DPR). Hal ini terjadi setelah mengikuti presentasi yang diajukan oleh KSAD Jendral Pramono Edhie Wibowo dalam rapat antara Komisi I DPR dengan panglima ABRI dan kepala-kepala staf ketiga angkatan yang diadakan tanggal 24 Januari lalu. Dalam presentasi tersebut, dipaparkan dengan tuntas mengenai hal-hal yang selama ini menjadi keberatan, antara lain mengenai kekuatan jalan-jalan dan jembatan-jembatan di Indonesia - yang ternyata mampu untuk dilalui MBT seberat Leopard 2 tersebut - disamping kenyataan lapangan yang menunjukkan bahwa modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI-AD sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Tentu saja, hal yang terakhir ini adalah hal yang juga dihadapi oleh TNI-AL dan TNI-AU dan yang tengah dijalankan sekarang ini.
Tapi reaksi-reaksi negatif dari pihak-pihak lain masih tetap bermunculan yang antara lain menyangsikan kemampuan mobilitas MBT tersebut di wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan, serta adanya klaim-klaim yang menyatakan bahwa infantri atau helikopter yang dipersenjatai dengan Peluru Kendali Anti-Tank (Anti-Tank Guided Missile - ATGM) dan Roket Peluncur Granat (Rocket Propelled Grenade - RPG) sudah lebih dari cukup untuk menghancurkan setiap MBT-MBT modern seperti dalam medan perang di Chechnya dan Libanon. Terlebih lagi dengan banyaknya video-video dari Irak dan Afghanistan yang menunjukkan kerusakan luar biasa yang bisa dihasilkan oleh Alat Peledak Improvisasi (Improvised Explosive Device - IED) terhadap kendaraan-kendaraan tempur modern termasuk MBT.
Disini akan dibahas mengenai hal-hal yang masih menjadi permasalahan seperti diatas, mengungkap sejauh mana kebenaran klaim-klaim tersebut dan juga hal-hal lain yang masih berkaitan lainnya. Namun sebagai sebuah saran, khususnya bagi yang belum mengikuti tulisan sebelumnya, dianjurkan untuk membaca mengenai pembahasan ""Tank Medium", Benarkah Lebih Cocok Dibanding MBT di Indonesia?" agar memiliki gambaran yang lebih jelas sebagai dasar untuk mengikuti bahasan ini. Namun biarpun pada tulisan sebelumnya dikatakan bahwa pembahasan mengenai mitos “amblas” tidak akan dilakukan untuk menghindari repetisi karena sudah dibahas di artikel-artikel dan forum-forum lain, demi relevansi tulisan kali ini pembahasan mengenai hal itu akan diulang dan dijabarkan dengan lebih spesifik dan rinci.
1. Tank Leopard hanya akan amblas di medan Indonesia dan terlalu berat untuk jalanan dan jembatan disini!
Kekhawatiran akan amblasnya tank yang berbobot puluhan ton tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya bisa dibenarkan. Ini karena yang kita bicarakan adalah kendaraan tempur dengan roda rantai (tapak jejak/track) yang justru didesain dari awal untuk menghindari hal ini agar mampu menyokong bobot yang berat diatas segala kondisi tanah, mulai itu dari lahan keras batu cadas hingga lahan gembur persawahan dan pertanian. Dalam bidang-bidang non-militer pun kendaraan dengan metode penggerak seperti ini banyak digunakan baik itu traktor pertanian, kendaraan-kendaraan konstruksi seperti bulldozer hingga kendaraan pertambangan.
Alasannya sederhana: Fisika. Dengan membagi berat diatas penampang yang lebih luas, maka akan didapatkan tekanan rata-rata yang lebih rendah. Tak perlu jauh-jauh membahas tank, bayangkanlah diri anda sendiri yang bertelanjang kaki lalu turun ke sawah yang berlumpur dimana hanya dalam sekejap kaki anda akan tenggelam hingga ke betis. Tapi bila anda melemparkan sepotong papan triplek dengan ukuran yang cukup besar keatas permukaan sawah tersebut agar anda bisa berdiri diatasnya, maka anda tidak akan terbenam. Ini karena berat anda disebarkan oleh permukaan papan triplek yang menyentuh permukaan sawah dan tidak langsung bertumpu pada kedua kaki sebagaimana yang akan terjadi pada contoh sebelumnya.
Hal yang sama berlaku untuk kendaraan-kendaraan berat yang menggunakan roda rantai. Luas permukaan tapak jejak yang menyentuh tanah dari sebuah kendaraan beroda rantai lebih luas dibanding bila kendaraan tersebut menggunakan roda ban biasa. Dengan kata lain, penggunaan roda rantai akan membuat kendaraan tersebut mampu bergerak bebas diatas kondisi lahan yang tidak akan mampu dilalui oleh kendaraan beroda ban.
Inilah yang dikenal dengan sebutan "Ground Pressure" atau tekanan permukaan dimana benda yang memiliki tekanan permukaan yang lebih kecil tidak akan amblas diatas permukaan tanah yang sama dibanding benda yang memiliki tekanan permukaan yang lebih besar.
Perhitungan yang disederhanakan berikut ini bisa memberikan ilustrasi yang lebih jelas, dengan membandingkan MBT Leopard 2A6 yang berbobot 62.300 kg dengan salah satu mobil keluarga yang populer di Indonesia (Toyota Kijang) yang berbobot 1.650 kg. Spesifikasi keduanya adalah sebagai berikut:
Leopard 2A6
Berat total: 62,3 ton/62.300 kg
Lebar tapak jejak: 63,5 cm.
Panjang tapak jejak menyentuh tanah: 494,5 cm.
Jumlah tapak jejak: 2
(Spesifikasi Leopard 2 dari http://www.army-guide.com/eng/product149.html, dimana disitu disebutkan bobot 55.150 kg sebagai bobotnya (versi Leopard 2 awal) sementara bobot versi 2A6 disebutkan sekitar 62,3 ton di artikel mengenai Leopard 2 di Wikipedia)
Toyota Kijang
Berat total: 1.650 kg
Lebar permukaan ban: 13,3 cm.
Panjang permukaan ban menyentuh tanah: 13.3 cm.
Jumlah ban: 4
(Untuk spesifikasi lebar ban Toyota Kijang, diambil dari spesifikasi ban standar 205/65 R15 yang kemudian dikonversi menggunakan online converter di: http://www.miata.net/garage/tirecalc.html, sedangkan panjang permukaan menyentuh tanah dari satu ban Toyota Kijang adalah asumsi rata-rata untuk menyederhanakan perhitungan yang ditujukan sebagai ilustrasi semata)
Rumus yang digunakan adalah berat total dibagi luas permukaan menyentuh tanah, dan hasilnya dalam satuan kg/cm² dan pound per square inch (psi) adalah sebagai berikut:
Leopard 2A6 : 62.300 kg / (494,5 x 63,5) x 2 = 0.992014522 kg/cm² (14,1 psi)
Toyota Kijang : 1.650 kg / (13,3 x 13,3) x 4 = 2.331957714 kg/cm² (33,2 psi)
Kesimpulannya: Diatas lahan yang sama Toyota Kijang beresiko "amblas" jauh lebih besar bila dibandingkan dengan MBT Leopard 2A6.
Selanjutnya, dalam ilmu-ilmu yang terkait dengan kekuatan tanah untuk menyokong beban, dikenal beberapa pembagian jenis-jenis tanah dan
kekuatannya yang diukur dalam satuan psf (pound per square foot). Jenis-jenis tanah tersebut dibagi-bagi mulai tanah liat lembut dengan kekuatan 2000 psf, hingga tanah berbatu-batu yang memiliki nilai lebih dari 6000 psf. Dengan mengambil contoh tanah liat lembut sebagai salah satu jenis tanah yang terlemah, nilai 2000 psf bila dikonversikan ke dalam satuan-satuan lain sesuai dengan satuan nilai-nilai ground pressure dalam dua contoh diatas menjadi:
2000 psf = 0.97648552541 kg/cm² = 13,9 psi
Disini memang nilainya lebih kecil dari ground pressure tank Leopard 2 diatas, namun perbedaan 0,2 psi (atau 0.014 kg/cm²) bukanlah nilai yang signifikan yang akan menenggelamkan tank tersebut diatas permukaan tanah berjenis demikian. Ini karena meskipun roda rantainya sampai terbenam, bila permukaan dasar lambung (hull) tank tersebut sampai menyentuh tanah, hal ini malah akan lebih menyebarkan beratnya lagi yang akan mengurangi ground pressure secara keseluruhan. Lalu dengan mesin berkekuatan tinggi yang dimilikinya, bukanlah hal yang terlalu sulit untuk bergerak keluar dari keadaan itu dengan tenaganya sendiri.
Namun biarpun demikian, bukan berarti MBT sekelas Leopard 2A6 diatas sama sekali tidak bisa terjebak dalam medan yang sulit. Adakalanya tank-tank semacam itu terperosok dan terjebak, misalnya dalam kubangan dengan kedalaman dan kemiringan yang terlampau besar buat bisa dilalui (yang tentunya juga tidak bisa dilintasi kebanyakan kendaraan-kendaraan lain - termasuk kendaraan "normal" yang lebih ringan). Tapi hal ini telah dipikirkan jauh-jauh hari sebelumnya dengan adanya kendaraan yang disebut dengan Armored Recovery Vehicle/Combat Engineering Vehicle yang biasanya selalu diikutkan dalam setiap paket pembelian MBT. Selain itu, pemetaan medan yang intensif dan strategi penempatan MBT yang digelar secara cermat juga bisa mengantisipasi kemungkinan “stuck“-nya MBT-MBT seperti ini di lapangan.
Kesimpulannya, mitos akan amblasnya MBT berbobot puluhan ton di Indonesia hanyalah sekedar mitos, atau setidaknya suatu kekhawatiran yang berlebihan tanpa dasar yang kuat yang selama ini didengung-dengungkan dan dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak.
Lalu mengenai "tuduhan" bahwa MBT seberat Leopard 2 akan merusak jalan beraspal, dan bahkan adanya anggapan bahwa MBT terlalu berat bagi jalan dan jembatan disini, bisa dibantah dengan penjelasan berikut ini:
Tahukah anda bahwa sudah sejak Perang Dunia II tapak jejak (track) tank-tank dilengkapi dengan bantalan karet (rubber pad) yang pada awalnya ditujukan untuk mengurangi kebisingan gerak maju roda rantai, tapi ternyata juga bermanfaat untuk melintas diatas jalan beraspal tanpa merusak jalan tersebut?
Tapi tak hanya itu, kekhawatiran akan bobot MBT yang akan merusak jalan-jalan di Indonesia juga sebenarnya tak beralasan. Sesuai ulasan panglima TNI di DPR baru-baru ini, sebagian besar peraturan daerah menentukan kelas jalanan sebagai kelas I dan kelas II, dimana Muatan Sumbu Terberat (MST) dari jalan kelas I diijinkan lebih dari 10 ton, dan kelas II yang dibatasi hingga maksimal 10 ton. MST dihitung dengan membagi berat kendaraan dengan jumlah sumbu roda, dan dari situ bisa diketahui jalan-jalan mana saja yang bisa dilalui oleh kendaraan tersebut.
Dalam perhitungan yang dipresentasikan di DPR, bobot Leopard 2A6 seberat 62 ton dibagi dengan 7 sumbu roda "roadwheel" yang menjejak track (yang pada gilirannya menjejak tanah) sehingga didapatkan hasil 62 ton : 7 = 8,85 ton. Jelas sudah bahwa dengan nilai MST sebesar itu tank Leopard 2 masih bisa melaju diatas jalan kelas II tanpa merusak jalan.
Lalu mengenai MBT yang "dicurigai" tidak akan bisa melalui jembatan-jembatan di Indonesia, dari presentasi yang sama juga diketahui bahwa hal ini tidak akan menjadi masalah yang berarti.
Mengambil pedoman dari Surat Edaran Dirjen Perancangan dan Persyaratan Teknis Jembatan Rangka Baja Tahun 2007, disitu disebutkan dua kategori jembatan yaitu:
a. Jembatan Kelas A, lebar 7 meter ditambah 1 meter untuk trotoar (kanan dan kiri), dan
b. Jembatan Kelas B, lebar 6 meter ditambah 0,5 meter untuk trotoar (kanan dan kiri).
Dengan panjang kedua kelas jembatan tersebut antara 40 hingga 60 meter.
Mengambil contoh jembatan kelas B dengan spesifikasi lebar 6,5 meter dengan panjang 40 meter, dengan perhitungan Beban Terbagi Rata (BTR) dalam arah memanjang maka digunakan rumus dari surat edaran tersebut sebagai berikut:
q = 8,0 (0,5 + 15/L) k Nm² dimana q adalah intensitas Beban Terbagi Rata, dan L adalah luas jembatan. Dari sini bisa didapat hasil:
a. Untuk BTR jembatan:
q = 8,0 (0,5 + 15) : (6,5 x 40) = 4,46 k Nm²
b. Untuk BTR tank (dengan rumus berat dikali gaya gravitasi dibagi luas jembatan):
q = (62 x 10) : (6,5 x 40) = 2,38 k Nm²
Dari perhitungan dalam presentasi diatas, jelas terlihat bahwa BTR sebuah MBT masih berada dibawah BTR jembatan kelas B sehingga masih sangat mungkin untuk melintasi jembatan tersebut. "Tapi kan tidak semua jembatan-jembatan di Indonesia sesuai standar kelas-kelas itu?" - Mungkin akan timbul argumen-argumen lain seperti ini yang bisa dijawab dengan:
- Bila jembatan yang akan dilalui ternyata konstruksinya lemah dan/atau terlalu tua, maka MBT sama sekali tidak perlu melewati jembatan karena bisa melintasi dasar sungai tersebut atau yang dikenal dengan sebutan "fording" hingga kedalaman maksimal 1,2 meter (tanpa persiapan) hingga 4 meter (bila menggunakan snorkel).
- Bila kedalaman sungainya lebih dari 4 meter akan tetapi lebarnya kurang dari 27 meter, bisa digunakan kendaraan "bridge layer" buat memasang jembatan on-site.
- Bila sungainya lebih dalam dari 4 meter dan lebih lebar lagi, bisa memakai "rakit" atau jembatan ponton.
Sebelum membahas hal ini, perlu diketahui beberapa hal terlebih dahulu:
a. Tidak ada senjata yang sempurna. Bentuk ancaman yang berbeda-beda membutuhkan taktik dan alat yang berbeda-beda pula.
b. Aksi dan Reaksi. Perkembangan teknologi di satu sisi akan selalu membuahkan perkembangan teknologi penangkalnya di sisi yang lain.
Laporan-laporan sebagian media dan video-video klip di situs-situs penyedia jasa video streaming banyak memperlihatkan betapa MBT termutakhir pun seolah tak mampu bertahan menghadapi gempuran peluru kendali anti-tank (Anti Tank Guided Missile - ATGM) atau roket peluncur granat (Rocket Propelled Grenade - RPG) seperti dalam perang di Irak, Afghanistan, Lebanon dan Chechnya. Lalu kemudian muncullah anggapan-anggapan bahwa rencana pembelian MBT oleh TNI-AD ini sebaiknya dialihkan saja menjadi pembelian ATGM dan RPG daripada membeli MBT yang hanya akan menjadi mangsa empuk bagi senjata-senjata semacam itu. Tapi benarkah demikian?
Ya dan tidak. Ya, bahwa teknologi persenjataan anti-tank modern, baik itu yang bisa dibawa infantri maupun yang diluncurkan dari kendaraan tempur lain seperti helikopter serang, memang berpotensi besar untuk menghancurkan - atau sedikitnya merusak - kendaraan kendaraan perang lapis baja termasuk MBT sebagaimana tertera pada berita-berita atau terlihat pada video-video klip seperti disebutkan diatas. Tapi itu sama sekali bukan berarti membuat MBT menjadi ketinggalan jaman karena banyak sekali faktor-faktor lain diluar pemberitaan-pemberitaan dan video-video tersebut yang menegaskan bahwa MBT masih akan memegang peranan penting dalam pertempuran di masa kini hingga di masa depan.
Hal ini bisa diilustrasikan dalam sebuah kasus di Irak dimana sebuah roket peluncur granat (RPG-29 seperti terlihat diatas) dengan hulu ledak ganda mampu menembus lapisan baja MBT Challenger 2 buatan Inggris yang mencederai pengemudinya hingga harus merelakan tiga jari kakinya diamputasi. Dari kasus ini bisa dilihat dua hal:
- Pertama : Perkembangan teknologi anti-tank menghasilkan RPG-RPG dan ATGM-ATGM dengan kemampuan daya hancur yang makin besar yang salah satu buktinya ditunjukkan dengan penerapan hulu ledak bertipe "shaped charge" atau yang dikenal juga dengan sebutan HEAT (High Explosive Anti Tank) yang dipasang berganda (tandem).
- Kedua : Lapisan baja komposit yang dimiliki oleh Challenger 2 (yang dikenal dengan nama Dorchester Armor) dan konstruksi MBT modern mampu membatasi kerusakan sehingga hulu ledak ganda dari RPG-29 tersebut tidak mengakibatkan hancurnya tank tersebut secara keseluruhan dan masih memberikan perlindungan terhadap semua awaknya - walaupun sang pengemudi mengalami cedera.
Kemudian dalam perang Libanon, dari puluhan tank-tank Merkava yang terkena serangan RPG dan ATGM, hanya dua yang dikategorikan sebagai "total loss" dimana sebagian besar yang lainnya hanya perlu ditarik kembali ke markas untuk diperbaiki dan siap operasional kembali.
Belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut, negara-negara pembuat MBT merancang sistem lapis baja modular (modular armor) dimana kerusakan yang parah bisa diperbaiki di lapangan dengan hanya mengganti komponen-komponen yang mengalami kerusakan. Sistem modular ini juga membuat MBT-MBT modern mampu menyesuaikan diri dengan skala ancaman yang dihadapi yang menjadikan MBT-MBT tersebut semakin fleksibel dalam penggelarannya di lapangan.
Perkembangan selanjutnya, dalam hal "aksi dan reaksi" sebagaimana dituliskan pada poin b diatas, membuat MBT modern tidak lagi hanya mampu "bertahan dan berharap yang terbaik" bila diserang dengan RPG dan ATGM. Sistim perlindungan aktif (Active Protection System) seperti Arena dari Rusia, AMAP-ADS buatan Jerman dan Iron Fist serta Trophy buatan Israel, yang telah mulai diterapkan beberapa tahun belakangan ini, mampu menghancurkan senjata-senjata tersebut dari jarak aman sebelum sempat menghantam lapisan baja tank-tank tersebut.
Sebuah riset yang tengah dijalankan di Amerika Serikat bahkan menjajaki kemungkinan menerapkan perisai elektromagnetis seperti dalam film-film fiksi ilmiah yang digadang mampu melumpuhkan semua senjata-senjata anti-tank masa kini termasuk proyektil energi kinetis dari tank-tank lawan.
Disini jelas terlihat hubungan yang saling berkait dan terus berkelanjutan dalam perkembangan teknologi militer dimana suatu inovasi akan melahirkan penangkalnya yang kemudian juga akan melahirkan penangkal dari penangkal teknologi tersebut, dan seterusnya. Jadi bila hal ini dikaitkan dalam diskusi pro-kontra MBT vs RPG dan ATGM, adalah sebuah pandangan yang amat sempit bila menilai pembelian Leopard 2 oleh TNI sebagai hal yang tidak perlu dan menganggap lebih baik membekali TNI dengan senjata-senjata anti tank daripada membeli MBT - suatu hal yang sangat konyol bila suatu saat para prajurit TNI harus berhadapan dengan MBT-MBT berteknologi tinggi milik negara asing yang dilengkapi dengan proteksi aktif yang datang untuk mengancam kedaulatan negara ini.
Ini belum menyebut kesulitan yang akan dihadapi oleh infantri pengusung RPG dan ATGM bila MBT-MBT tersebut bergerak bersama dukungan infantri-infantri dan kekuatan udara musuh. Perlu diketahui bahwa doktrin perang modern tidak mengajarkan MBT untuk bergerak sendirian, melainkan saling mendukung antara satu kekuatan dengan kekuatan lainnya. Inilah salah satu pengejawantahan konsep "combined arms" yang tidak disadari oleh para kalangan yang berpandangan sempit itu. Dengan penggelaran semacam ini, tak hanya infantri pengusung RPG dan ATGM yang akan bisa diatasi, ancaman serangan udara terhadap kekuatan tersebutpun telah diantisipasi dengan memberikan senjata rudal panggul anti pesawat terbang kepada infantri pendukungnya disamping artileri dan kendaraan peluncur peluru kendali anti pesawat terbang yang mengikuti di belakangnya.
Ini semua bukan berarti bahwa senjata-senjata anti-tank tersebut tidak mempunyai tempat dalam inventaris TNI. Solusi yang paling tepat adalah menganggarkan pembelian MBT bersama senjata-senjata anti-tank - baik itu yang dibawa oleh infantri maupun yang diluncurkan dari kendaraan-kendaraan tempur lainnya. Ini dikarenakan jenis dan skala ancaman yang sangat beragam membutuhkan penanganan, taktik dan alat yang bervariasi pula sebagaimana dituliskan dalam poin a diatas.
Namun semua penjelasan ini mungkin belum cukup meyakinkan kalangan pendukung RPG dan ATGM sebagai senjata "sakti" pemusnah tank yang memandang rencana pembelian MBT sebagai kemubaziran. Menariknya, opini-opini semacam ini bukanlah hal yang baru karena sejak infantri mulai dibekali dengan senapan dan amunisi khusus penembus baja (di era Perang Dunia I dan II) hingga ATGM di masa sekarang, pendapat yang menyatakan kejayaan tank telah berakhir telah bergaung dengan lantang. Nyatanya kita melihat bahkan di medan perang
Afghanistan yang terkenal sulit bagi penggelaran klasik lapis baja, MBT masih memegang peranan penting dalam peperangan. Lalu menarik pula untuk dicermati bahwa negara-negara pembuat MBT, masing-masing masih memiliki proyek-proyek MBT generasi selanjutnya yang setidaknya mengilustrasikan bahwa peran lapis baja di medan tempur modern di masa depan masih tetap dianggap penting dan esensial bagi kekuatan militer negara-negara tersebut.
3. Indonesia negara kepulauan. Tidak cocok untuk MBT, dan sangat sulit untuk memindah-mindahkan MBT dari satu pulau ke pulau yang lain!
Jepang adalah sebuah negara kepulauan dengan komposisi yang mirip dengan Indonesia (dalam artian bergunung-gunung dan dengan masih banyak area yang berhutan lebat), tapi itu tidak menjadikan negara tersebut memandang MBT sebagai sebuah hal yang tidak diperlukan. Betul bahwa sarana dan prasarana jalan dan jembatan di Jepang jauh lebih maju dibanding di Indonesia, akan tetapi bila dihubungkan dengan penjelasan pertama diatas, keterbatasan sarana dan prasarana jalan dan jembatan di Indonesia tidak lantas menjadikan penggelaran MBT menjadi hal yang mustahil.
Tentang medan Indonesia - khususnya di Kalimantan yang dianggap tidak bisa ditembus oleh lapis baja, dan tentang "keyakinan" bahwa ATGM, RPG dan helikopter serang sudah cukup untuk menghentikan MBT modern seperti pada bahasan nomer 2, mengingatkan tentang pendapat yang digemakan Marshal Pétain (Jendral Phillipe Pétain) di Perancis pada tahun 1930 yang menyatakan bahwa hutan Ardennes dan garis pertahanan Maginot tidak akan bisa ditembus dan bahwa kombinasi ranjau anti-tank serta artileri sudah cukup untuk menghancurkan tank-tank Jerman. Fakta sejarah membuktikan lain. Di tahun 1940 kekuatan lapis baja Jerman merangsek maju melalui kerapatan hutan Ardennes, mem-"by-pass" garis pertahanan Maginot dan memotong jalur logistiknya. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kejatuhan Perancis yang tidak menyangka bahwa apa yang mereka nilai sebagai hal yang mustahil dilakukan oleh Jerman, justru adalah apa yang dilakukan oleh mereka.
Kesalahan yang sama terulang kembali di akhir tahun 1944 di saat Jerman sudah terdesak oleh kekuatan Sekutu yang mendarat di Normandy, Perancis pada bulan Juni tahun yang sama. Pada tanggal 16 Desember 1944, kekuatan lapis baja Jerman merangsek menembus hutan Ardennes dan garis pertahanan sekutu, memerangkap 11.000 tentara Amerika di dalam kota Bastogne yang mereka kepung. Pertempuran yang selanjutnya dinamakan dengan istilah “Battle of The Bulge“ ini, berlangsung hingga tanggal 25 Januari 1945 dan akan berakhir lain seandainya kekuatan Jerman mendapatkan dukungan logistik yang memadai dan dengan didukung oleh kekuatan udara yang mampu memayungi pergerakan mereka - dua hal dari beberapa sebab utama kegagalan operasi ini.
Dari dua contoh diatas, tampak disini bahwa kelalaian Perancis pada dasawarsa 1930-1940 yang menganggap hutan Ardennes tidak bisa ditembus tidak dijadikan pelajaran bagi tentara sekutu yang nyaris membuat mereka harus membayar mahal dengan kekalahan bila serangan Jerman tersebut tetap bisa berjalan lancar. Di sisi lain, hal ini juga membuktikan bahwa pergerakan kendaraan lapis baja tanpa didukung oleh kekuatan udara untuk memayungi mereka membuat mereka menjadi sasaran empuk bagi kekuatan udara lawan.
Kembali kepada bahasan MBT di Indonesia, pendapat-pendapat yang masih bersikeras menyatakan MBT tidak cocok dengan geografis Indonesia yang salah satunya mengambil contoh Kalimantan yang dianggap tidak bisa ditembus adalah suatu pendapat yang mencerminkan sikap "ignorant", "complacent" dan meremehkan potensi ancaman yang bila dibiarkan akan menjadi kelengahan yang bisa dieksploitasi oleh kekuatan-kekuatan militer negara-negara asing. Kenyataannya, meskipun masih banyak wilayah Kalimantan yang tertutupi oleh belantara dengan pepohonan yang lebat dan rapat, tapi makin banyak pula lahan-lahan yang sudah terbuka digantikan oleh kebun-kebun kelapa sawit dan pertanian rakyat, disamping area pengelolaan kayu secara resmi maupun liar. Perlu dipahami disini, bahwa "ancaman dari Utara" ini tidak hanya sebatas negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia, tapi juga setiap negara-negara asing lain yang memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan melintasi laut dan mendaratkan pasukannya di Kalimantan Utara untuk kemudian bergerak maju ke Selatan. Sekalipun mereka tidak melakukan serangan langsung melintasi perbatasan darat, bukanlah hal yang sulit untuk melancarkan pendaratan amfibi lanjutan ke titik-titik lemah pertahanan Indonesia di pesisir Kalimantan.
Harus dimengerti bahwa bila kita sudah bicara mengenai pendaratan amfibi, tidak hanya Kalimantan yang bisa terancam, tapi seluruh pulau-pulau Indonesia pun akan terancam dengan operasi seperti ini sebagaimana terjadi di tahun 1942 sewaktu Indonesia masih bernama Hindia Belanda dalam menghadapi serbuan bala tentara kekaisaran Jepang. Dan juga harus dipahami bahwa ancaman terhadap Indonesia tidak hanya bisa datang dari Utara, tapi juga dari segala arah mata angin yang lain yang pada akhirnya menuntut TNI untuk mampu mengantisipasi dan menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Mengenai masalah mobilitas MBT di negara kepulauan seperti Indonesia, cukup jelas bahwa bila jumlah MBT yang ada masih sedikit maka kemampuan untuk memindah-mindahkan MBT ke lokasi-lokasi yang membutuhkan adalah satu hal yang mutlak diperlukan. Tapi itupun bukan hal yang terlalu sulit karena sejak beberapa tahun yang lalu TNI-AL telah memiliki 4 buah kapal LPD (Landing Platform Dock) sekelas KRI Makassar yang mampu menampung 40 kendaraan tempur jenis APC (atau kurang lebih sekitar 20-30 MBT) dan membawa kendaraan-kendaraan itu ke segala pelosok tanah air dimanapun dibutuhkan. Tidak hanya itu, pembuatan dan pembelian kapal-kapal jenis LST (Landing Ship, Tank) produksi dalam negeri juga tengah dilakukan yang pastinya akan lebih memudahkan pergerakan MBT karena kapal-kapal jenis ini mampu untuk mendaratkan kendaraan-kendaraan militer seperti ini langsung di pantai tanpa melalui bongkar muat di pelabuhan terlebih dahulu.
Dan tidak hanya kapal-kapal militer yang bisa dipakai untuk tugas-tugas semacam ini. Kapal-kapal sipil pun bisa diberdayakan. Ada banyak kapal sipil dari jenis LCT yang mampu mengangkut beberapa kendaraan tambang yang bobotnya bisa mencapai 500 ton sebuahnya. Sudah barang tentu bukan masalah untuk membawa beberapa MBT yang sebuahnya hanya memiliki berat sebesar 62 ton.
Kemudian bila mengambil contoh dari Jepang untuk diterapkan disini dimana setiap pulau besar negara itu memiliki batalyon-batalyon MBT-nya sendiri (di pulau Hokkaido hingga satu divisi dengan lebih dari 300 MBT), tentunya masalah memindah-mindahkan MBT bukan lagi menjadi hal yang krusial. Bayangkan betapa besar nilai "penggentar" (deterrent) yang kita miliki bila setiap pulau besar di Indonesia memiliki batalyon-batalyon MBT-nya sendiri yang mampu untuk melawan pendaratan amfibi musuh, apalagi bila didukung dengan kekuatan laut yang handal sebagai benteng pertama untuk menghadapi serbuan dan kekuatan udara yang handal buat memayungi kapal-kapal perang dan tank-tank Indonesia. Inilah letak pentingnya modernisasi ketiga angkatan yang tengah dijalankan oleh TNI-AL dan TNI-AU, dan yang sekarang tengah diupayakan oleh TNI-AD.
Dalam bahasan sebelumnya, disitu tertulis satu kalimat sebagai berikut:
"Disini terlihat bahwa mereka yang menjadikan kondisi geografis Indonesia sebagai alasan untuk tidak membeli MBT adalah mereka yang memandang kondisi geografis Indonesia sebagai sebuah penghalang dan bukan sebuah peluang untuk mengadopsi, mengembangkan dan menerapkan taktik peperangan MBT yang cocok buat Indonesia."
Berangkat dari kalimat tersebut, dan setelah memaknai penjelasan dalam tulisan kali ini, apakah masih pantas kita meragukan rencana pembelian semacam ini yang jelas-jelas sudah diperhitungkan masak-masak oleh pihak TNI? Ini tidak hanya sebatas polemik seputar pembelian MBT, tapi juga mencakup berita-berita terdahulu seperti hibah pesawat-pesawat F-16 yang sempat menimbulkan polemik lain seakan-akan yang kita terima adalah pesawat "rongsokan" yang sudah tidak laik terbang. Pendapat-pendapat seperti inilah - yang sayangnya seringkali dikutip oleh media-media massa - yang akan berakibat buruk terhadap kemampuan TNI menanggulangi ancaman-ancaman terhadap kedaulatan bangsa di masa depan.
Selanjutnya dengan melihat contoh penggelaran kekuatan militer dalam suatu kesatuan "combined arms", ketiga angkatan dalam tubuh TNI selayaknya diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan modernisasi. Pendapat yang menyatakan bahwa sebaiknya TNI lebih memprioritaskan untuk memperkuat salah satu angkatan dibanding angkatan yang lain adalah sebuah pemikiran yang salah karena pada kenyataannya ketiga angkatan tersebut mempunyai prioritas yang sama penting seperti tercermin dari apa yang telah dijalankan selama beberapa tahun terakhir ini.
Betul, bahwa kekuatan angkatan darat sebuah negara kepulauan tidak akan mampu melawan pendaratan musuh dengan efektif bila angkatan lautnya lemah. Tetapi ini sama betulnya bahwa angkatan laut yang kuat tidak akan mampu berbuat banyak bila kekuatan darat negara asing mampu melintasi perbatasan darat dan mengancam kota-kota besar di pulau-pulau tersebut. Demikian halnya dengan kekuatan udara dimana ketiadaan superioritas udara akan mengakibatkan kedua angkatan yang lain menjadi makanan empuk bagi serangan udara musuh. Inilah mengapa rencana pengadaan MBT dan alat utama sistem kesenjataan (alutsista) lain buat angkatan darat selain modernisasi dan penambahan kekuatan angkatan laut dan angkatan udara harus kita dukung. Terlebih lagi bila upaya-upaya seperti itu dilakukan dengan niatan yang tulus untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pembengkakan anggaran dari praktek-praktek "mark-up" sebagaimana yang sudah sering terjadi di masa lampau.
hankam.kompasiana.com